Gerak Fenomenal dari Efek Rumah Kaca

Dunia abad 21. Kegalauan menghantui sebuah generasi. Jiwa – jiwa lelah digerogoti kebanalan kehidupan yang berkesan plastik artifisial. Semu. Musik tidak lagi menghibur, hanya dayuan pengumbar cinta yang kehilangan artinya. Semua musik? Tidak semua musik. Untuk tenggelam dalam kegundahan jiwa dan menikmatinya, datang sebuah penyelamat dari musik yang disuguhkan Efek Rumah Kaca.
Debut album yang diberi judul sama dengan nama band mereka ini, menyuarakan sebuah perasaan desperasi akan sekitar yang makin lama merontokkan keesensialan jiwa sebuah generasi. Album ini berkomunikasi dalam bahasa keputusasaan yang makin dihayati merubah perasaan tanpa harapan itu menjadi sebuah perasaan akan sesuatu memegahkan yang akan terjadi. Perasaan akan sebuah kemenangan tanpa harus menjadi sama dengan penghuni planet ini yang makin lama terperosok dalam dunia mayanya.
“Jalang” memulai album ini dengan suasana kegalauan itu. Lirik “Siapa yang berani bernyanyi, nanti akan dikebiri/Siapa yang berani menari, nanti akan diesekusi” menguak ruang jiwa diiringi dengan suara gitar yang menderteminasi alam pikiran kita.
Melodi manis memulai “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” seperti hendak menyapa 2 insan yang tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaan mereka masing – masing. Ini adalah definisi Efek Rumah Kaca akan lagu cinta mereka. Akan lagu cinta yang tidak murah dan mengumbar kata manis hasil daur ulang dari sampah. Sesuatu yang hendak mereka sindir, seperti dalam lagu “Cinta Melulu” di track ke 8 album ini. Masih tentang hubungan 2 insan manusia, Efek Rumah Kaca menyorot sebuah hubungan homoerotis dalam “Bukan Lawan Jenis” dengan penggambaran dan suasana yang indah menyesatkan.
Debut album ini sarat dengan pesan – pesan yang berhasil disampaikan Efek Rumah Kaca tanpa terkesan harus menggurui. Seperti dalam “Belanja Terus Sampai Mati” yang menggambarkan budaya konsumerisme yang tak tertahankan dengan tawaran yang bertebaran di mal – mal ibukota. “Duhai korban keganasan peliknya kehidupan urban” nyanyi mereka di lagu tersebut terhadap sosok kita yang tak bisa lepas dari budaya mematikan itu. Sebuah ode manis tentang spirit pejuang HAM Munir mereka nyanyikan dari hati di “Di Udara”.
“Insomnia” dan “Melankolia” seperti sebuah kakak – beradik yang menyiratkan kecemasan akan sesuatu yang menghantui kehidupan. Sesuatu yang tak pernah tergambarkan. Keindahan Efek Rumah Kaca di kedua lagu tersebut adalah kecerdasan mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Mendengarkannya seperti menemukan jawaban untuk sesuatu yang selama ini dicari. Simak saja lirik “Ku rindu untuk bercumbu mesra alam bawah sadarku/Ku nanti dan ku cari seserpih mimpi” di “Insomnia” atau lirik “Murung itu sungguh indah, melambatkan butir darah/Nikmatilah saja kegundahan ini, segala denyutnya yang merobek sepi/Kelesuan ini jangan lekas pergi, aku menyelami sampai lelah hati” dalam “Melankolia.
Secara musikalis Efek Rumah Kaca menfiturkan sebuah kejeniusan yang jarang kita temui dalam dunia musik lokal. Walaupun tidak bisa dipungkiri, aroma musik Radiohead era The Bends sangat kental ketara di sini, tapi paling tidak mereka melakukannya dengan sangat baik sehingga yang tercerna bukanlah sebuah kopi tapi sebuah keorisinalan unik dalam scene musik lokal kita.
Ditutup dengan “Desember” album ini memberikan jiwa – jiwa yang galau sebutir obat penenang, untuk kemudian tenggelam dalam kepiluan. Tapi kemudian mereka menyadari kepiluan itu membuat mereka menghargai setiap langkah yang mereka lewati. Di luar sana, langit hitam bulan Desember masih bergelayut, hujan pun pelan – pelan membasahi bumi dan diri kita, membuat diri kita basah kuyup, dan saat itu, momen itu, adalah di mana kita menyadari indahnya kehidupan.



Baca Juga:

blogger yang menyikapi dingin dengan segala perubahan dunia. bergerak hanya karena ada sesuatu yang dia minati

Hot topik lainnya

Belum ada tanggapan untuk "Gerak Fenomenal dari Efek Rumah Kaca"

Posting Komentar

Scroll to top